Ada
persoalan nyata terjadi pada jemaat di Roma antara jemaat yang
dikatakan disini “lemah imannya” yang hanya memakan sayur-sayuran
dan menganggap hari yang satu lebih penting dari hari yang lain
dengan jemaat yang memakan segala jenis makanan dan menganggap semua
hari sama saja (ay. 2,6).
Kondisi
ini terjadi karena memang jemaat di Roma ada orang Yahudi dan yang
Non-Yahudi. Ada dari kalangan Yahudi yang percaya kepada Yesus, namun
dalam pola kehidupan mereka sudah sangat melekat hukum Taurat yang
tidak begitu saja meninggalkannya. Namun yang pasti bahwa persoalan
yang terjadi bukanlah mengenai prinsip dasar iman Kristen bahwa
keselamatan satu-satunya hanya melalui Yesus Kristus, tetapi lebih
kepada masalah pemahaman praktis. Jika Paulus mengatakan yang “lemah
imannya” lebih menitikberatkan pada kehidupan orang yang belum
sepenuhnya mampu memahami pembenaran karena iman (Rm.10:4), sehingga
mereka terusik ketika ada saudaranya dari Non-Yahudi melakukan apa
yang tidak mereka lakukan
Maka
persoalan yang terjadi:
Yang
makan segala jenis makanan menghina yang tidak makan
Yang
tidak makan menghakimi yang makan segala
jenis makanan
Maka
Paulus memberikan reaksi atas persoalan ini untuk tidak saling
menghina dan menghakimi, karena pada dasarnya mau makan sesuatu ataupun tidak kita melakukannya adalah untuk
Tuhan. Pada ayat-ayat selanjutnya juga (ay. 15-23) Paulus dengan
tegas menyatakan supaya jangan seorang menjadi batu sandungan bagi
saudaranya, sebab Kerajaan Sorga bukanlah masalah makanan dan
minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh
Kudus. Sehingga celakalah orang yang karena makanannya orang lain
tersandung.
Dalam
konteks kita di Indonesia bukan hendak menyatakan bahwa ada yang
“imannya lemah” dan ada “imannya kuat” sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Rasul Paulus. Namun tidak dapat kita pungkiri
perjumpaan kita sesama Kristen yang berbeda denominasi dan juga
perjumpaan iman Kristen dengan kekayaan adat dan budaya dapat memicu
hilangnya semangat kesatuan jemaat Kristen. Nasehat Paulus ini dapat
menjadi renungan bagi kita bersama untuk tetap menjaga kesatuan orang
Kristen di Indonesia untuk tidak saling menghina dan menghakimi
ditengah-tengah perbedaan.
Kata
kunci yang perlu kita perhatikan bahwa bagaimana pun cara yang kita
lakukan kita melakukannya untuk Tuhan. Terlebih jika iman
Kristen bersinggungan dengan budaya dan adat, kita memang mesti
berhati-hati untuk tidak terjun kepada sikap dualisme. Kita tidak
menolak adat dan budaya bahkan harus dikembangkan, namun kita harus
benar-benar bertanya apakah memang adat yang dilakukan memang
benar-benar untuk memuliakan Tuhan, atau justru sebaliknya ada alasan
dan tujuan tertentu dibaliknya.
Sikap
menghina dan menghakimi menjadi bahaya dalam kehidupan berjemaat yang
harus dihindari. Karena hal tersebut dapat merusak keutuhan jemaat.
Seorang motivator Mike George mengatakan: “Ketika
menghakimi dan menghina, kita berhenti untuk mencoba memahami orang
lain, dan hubungan pun secara efektif terlumpuhkan”. Bahwa
ketika kita menciptakan label yang negatif kepada seseorang kita
sedang menciptakan penghalang dalam hubungan kita.
Ketika
kita berhadapan dengan perbedaan baik sikap maupun pendapat,
bagaimana kita untuk menyikapi dengan arif dan bijaksana. Tuhan tidak
menjadikan kita hakim bagi sesama kita justru kita menjadi “penjaga”
sesama kita sebagaimana khotbah minggu yang lalu (Yehezkiel 33: 7-11). Jika terjadi
perselisihan bagaimana kita menjauhkan sikap anti, benci apalagi
dendam terhadap sesama kita.
Sebagaimana
yang Paulus sampaikan juga pada ayat-ayat sebelumnya (Roma 13:8-14)
untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, bahwa dengan
mengasihi sesamanya manusia sudah memenuhi hukum taurat. Sikap
menghakimi dan menghina bukanlah sikap yang dilandasi sikap mengasihi
sesama. Kasih itu bukan untuk menghakimi dan menghina tetapi adalah
untuk menerima terlepas dia memiliki perbedaan sikap dan pendapat
dari kita (14:1; 15:7).
Paulus
menjelaskan, bagaimana karya keselamatan Kristus dalam kematian dan
kebangkitanNya adalah wujud penerimaan Tuhan akan terhadap manusia yang berdosa. Tuhan tidak
memandang kehinaan manusia itu, Dia mau menerima kita untuk memasuki
kehidupan yang kudus. Hal ini ditegaskan supaya setiap orang percaya
juga dapat saling menerima satu dengan yang lain yang walaupun dalam
ukuran manusia tidak dapat diterima.
Penerimaan
yang tulus bukan hanya sekedar menerima seseorang karena memang layak
diterima, namun penerimaan itu lebih jauh lagi tidak sekedar “say
hello” “horas” atau apapun itu yang hanya pada ucapan saja.
Namun penerimaan yang tulus itu tanpa mempersoalkan apapun pandangan
dan sikapnya namun kita tetap terbuka untuk mengasihinya sebagai
saudara.
Kita
tidak di tuntut untuk berubah langsung secara radikal, namun
bagaimana kita mulai mau membuka diri untuk menerima kasih Allah
bekerja dalam kehidupan kita.
Kasih adalah penyembuh dalam hubungan yang kurang baik dan kasih akan memperbaiki perbuatan dan sikap yang kurang baik.
Ketika kita saling mengasihi maka kita akan saling memperbaiki diri satu dengan yang lain. Yang dituntut untuk kita lakukan hanyalah mulai membuka diri untuk mengasihi dan menerima kasih orang lain. Sehingga persekutuan jemaat tetap terjalin dengan baik tanpa menghina dan menghakimi, tetapi untuk saling memahami, memaafkan dan saling memperbaiki diri.
Kasih adalah penyembuh dalam hubungan yang kurang baik dan kasih akan memperbaiki perbuatan dan sikap yang kurang baik.
Ketika kita saling mengasihi maka kita akan saling memperbaiki diri satu dengan yang lain. Yang dituntut untuk kita lakukan hanyalah mulai membuka diri untuk mengasihi dan menerima kasih orang lain. Sehingga persekutuan jemaat tetap terjalin dengan baik tanpa menghina dan menghakimi, tetapi untuk saling memahami, memaafkan dan saling memperbaiki diri.
No comments :
Post a Comment