Bacaan Firman Tuhan:
Yehezkiel 18:1-4 + 25-32
Ada sindiran yang berkembang pada masa Yehezkiel ketika itu
yang menyatakan “Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu”.
Dengan maksud umat Israel ketika itu ingin berdalih bahwa penghukuman yang akan
mereka terima adalah karena dosa orangtua mereka dan juga ketidakadilan Allah. Maka
firman Allah dengan tegas mengatakan disini bahwa “Aku menghukum kamu masing-masing
menurut tindakannya” (ay. 30). Bahwa Allah berurusan langsung dengan
manusia sebagai individu.
Setiap orang bertanggung jawab atas dosa-dosanya sendiri di
hadapan Allah dan dosa yang dilakukan seorang ayah tidak berhubungan dengan
anaknya. Jika ternyata seorang anak menolak mengikuti perbuatan ayahnya, maka
dia akan selamat. Demikian juga halnya jika seorang ayah melakukan yang benar,
namun anaknya menolak meniru perbuatan baik ayahnya maka si anak akan dihukum
sesuai dengan kesalahannya.
Maka jelaslah disini bahwa seseorang tidak mewarisi dosa
kepada keturunannya, keadilan Allah nyata kepada setiap individu dan kasihNya
nyata bagi setiap individu yang bertobat dari dosanya. Sehingga dalam hal
berbuat dosa kita tidak dapat berdalih mempersalahkan siapapun. Tidak ada yang
tersembunyi dihadapan Allah, semua yang kita perbuat harus kita pertanggung jawabkan
kepada Tuhan “apa yang ditabur orang, itu juga yang dituainya” (Gal. 6:7).
Tabiat dosa yang telah
merasuki kehidupan manusia sudah sejak dari Adam pertama yakni mencoba berdalih
untuk membenarkan diri dan melihat kesalahan orang lain. Semakin kita menyangkal kesalahan
dan semakin kita hanya melihat kesalahan orang lain, maka keselamatan dari
Tuhan akan semakin jauh dari hidup kita. Jika gagal memukul bola golf sampai
beberapa kali, jauh lebih baik mengakui kekurangan kita, daripada menyalahkan
lapangan maupun stik golf yang kurang baik, karena sikap seperti itu tidak akan
membawa kebaikan dalam kemampuan permainan kita.
Dapat dilihat bagaimana penerimaan Yesus terhadap orang yang
berdosa, yakni adanya pengakuan dan penyesalan atas dosanya. Bukan seperti
imam-imam, tua-tua Yahudi dan ahli taurat yang selalu menganggap diri benar dan
kudus sebagaimana mereka sebagai pejabat (Sanhedrin) yang dihormati, dan hanya
melihat dosa orang lain.
Dalam kehidupan ini, ada banyak orang yang berani
mempertaruhkan keselamatan jiwanya demi mempertahankan eksistensinya secara
kedagingan. Mengandalkan kekuatan pikiran dan perasaannya daripada mengandalkan
kuasa Tuhan bekerja dalam dirinya. Sudah tahu bahwa dia memiliki kekurangan,
namun untuk mempertahankan kekuatan pikiran, perasaan dan kepentingan
kemanusiaannya dia lebih senang untuk memperhatikan dan memperlihatkan kesalahan
dan kelemahan orang lain.
Untuk mempertahankan ego seseorang sanggup untuk tidak
melihat kekurangannya untuk berbantah atas kekurangan orang lain. Maka seseorang
yang memiliki sifat seperti ini akan selalu menganggap salah perbuatan
saudaranya tanpa mempercakapkan pendapatnya, padahal Firman Tuhan justru
mengajar kita “Terimalah orang yang lemah imannya, tanpa mempercakapkan pendapatnya”
(Roma 14:1).
Seruan pertobatan Tuhan adalah untuk melihat dan merubah
kesalahan dalam diri kita bukan untuk melihat kelemahan dan dosa orang lain. Karena
pada akhirnya Tuhan mempertanyakan perbuatan kita bukan mempertanyakan
perbuatan orang lain.
Kita bisa saja marah atas dosa orang lain, namun yang Tuhan
perintahkan bukan menghakimi tetapi menasehati.
Kita bisa saja marah atas dosa kita, namun yang Tuhan
perintahkan bukan untuk membenci diri tetapi membenci dosa dengan pertobatan.
No comments :
Post a Comment