Bacaan Firman Tuhan: 2 Samuel 9: 1-8
Di kitab 2 Samuel 9: 1-8 kita akan belajar memahami makna dari kebaikan. Di kisahkan kepada kita bahwa Mefiboset yang adalah anak dari Yonatan, cucu Saul raja pertama bangsa Israel. Saul dan Yonatan terbunuh dalam pertempuran dan takhta kerajaan di isi oleh Daud. Bahwa pada masa itu raja yang baru sering kali memusnahkan semua orang yang berhubungan dengan dinasti raja sebelumnya, yang dikhawatirkan adanya pemberontakan di kemudian hari. Namun Daud mengingat persahabatannya dengan Yonatan dan janjinya kepada Yonatan untuk tidak memutus kasih setianya kepada keturunannya sampai selamanya ( 1 Sam. 20:15-17).
Dalam
diri Daud mungkin saja muncul perenungan yang dalam membayangkan kehidupannya
dahulu dengan keadaannya sekarang dapat duduk di kursi raja dan hidup nyaman di
istana yang megah. Namun semua ini dapat dirasakannya tidak terlepas dari peran
sahabatnya yang telah menolongnya pada masa kekusahannya yaitu Yonatan. Maka
Daud pun bertanya: "Masih adakah
orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku
kepadanya oleh karena Yonatan."
Daud
mendapat informasi dari hamba Saul yaitu Ziba yang mengatakan bahwa masih ada
keluarga Saul yang tertinggal, yaitu seorang anak laki-laki Yonatan yang cacat
kakinya, lebih tepatnya kedua kakinya timpang yang bernama Mefiboset. Kedua
kaki Mefiboset timpang ketika inang pengasuhnya membuatnya terjatuh ketika dia
dibawa lari dengan tergesa-gesa setelah mengetahui kabar bahwa Saul dan Yonatan
telah mati, yang saat itu umur Mefiboset adalah lima tahun (2 Sam. 4:4).
Mengetahui
informasi ini, Daud segera memerintahkan untuk membawa Mefisobet ke istana.
Tidak ada pertimbangan bagi Daud yang membuatnya ragu dan berfikir untuk
membawa dia ke istana yang walaupun kondisi fisik Mefiboset yang cacat. Tidak
ada batasan syarat atau halangan dalam diri Daud untuk membawa Mefisobet ke
istana karena ketidak sempurnaan fisiknya. Misi Daud hanya satu, yaitu “Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang
dari Allah” (ay. 3). Daud menunjukkan kasihnya kepada Mefiboset dengan
mengembalikan segala ladang Saul neneknya dan juga makan sehidangan dengan
Daud. Artinya bahwa Daud menjamin kehidupan Mefiboset di istana, seperti
pengakuan Mefiboset sendiri tentang dirinya yang seperti “anjing mati” namun
sekarang dia dapat duduk sehidangan dengan Daud, sebelumnya dia takut akan di
bunuh karena masih keluarga dari Saul, namun kenyataannya dia dikasihi tinggal
di istana raja.
Apa
yang dilakukan oleh Daud ini menggambarkan kepada kita juga dengan apa yang
dilakukan oleh Tuhan kepada kita orang berdosa. Bahwa Tuhan memanggil dan
memilih kita menjadi anakNya untuk mewarisi kerajaan sorga bukanlah karena
kebaikan kita. Bukan karena kebenaran kita sehingga kita dikasihi Tuhan, namun
kita ini hanyalah orang cacat dan tidak berdaya oleh karena dosa, atau seperti
istilah Mefiboset yang mengatakan "Apakah
hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?", siapa
kita ini? Kita hanyalah orang yang hina karena dosa dan kejahatan kita,
namun Tuhan mau menyelamatkan kita dengan memberikan hidupnya mati di kayu
salib bagi keselamatan kita. Sama seperti Daud yang menerima Mefiboset ke dalam
istana bukan karena kebaikan yang ada dalam diri Mefiboset, tetapi Daud
mengingat janji setianya kepada sahabatnya Yonatan. Demikian halnya dengan Tuhan
Yesus yang mengasihi kita dan dilayakkan menjadi anakNya dan satu meja
perjamuan dengan Tuhan adalah mengingat akan janji kasih setiaNya kepada
umatNya.
Tuhan
Yesus telah memperlihatkan kepada kita kebaikan Allah melalui kasihNya yang
tidak terselami dalamnya, apa yang dilakukan oleh Allah di dalam Tuhan Yesus
menjadi teladan terbesar tentang kebaikan. Namun Alkitab juga mencacat beberapa
tokoh yang menghidupi kasih Tuhan dalam hidupnya yang juga menjadi teladan dan
pengajaran kepada kita dalam menghidupi kebaikan dalam hidup ini. Salah satunya
adalah Daud dalam nas ini. Kita hendak mendalami lebih dalam lagi ketulusan
hati dan perbuatan Daud yang berkata dalam nas ini “Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah” (ay. 3).
Apa
yang dapat kita pelajari dari ungkapan ini? Jika Daud hendak menunjukkan kasih
Allah kepada orang lain, adalah karena Daud telah merasakan, melihat dan menyaksikan
sendiri kasih Allah dalam dirinya. Daud dapat merasakan bagaimana penggembalaan
Tuhan dalam dirinya, dari seorang gembala domba menjadi raja di Israel, Daud
juga dapat merasakan pengalaman hidup bersama dengan penyertaan Tuhan, maka Daud
mau supaya kasih Tuhan itu juga dirasakan oleh orang lain, lihat dan rasakanlah
betapa baiknya Tuhan itu.
Kebaikan
Daud kepada Mefiboset tidak lagi hanya semata-mata karena balas budi atau balas
jasa dan bukan hanya karena janji setianya kepada sahabatnya Yonatan, tetapi
jauh lebih dalam lagi bahwa Daud hendak memperlihatkan kasih Allah itu dan
supaya orang lain juga dapat merasakan kasih setia Allah. Daud telah merasakan
bagaimana kasih Allah yang menyertai hidupnya, sekalipun di tengah-tengah
kesukaran Tuhan menyertai dia dengan memberinya seorang sahabat yang baik yaitu
Yonatan, semuanya itu adalah penggembalaan Tuhan dalam hidupnya.
Apa
yang dilakukan oleh Daud disini adalah teladan bagi kita juga dalam menghidupi
kebaikan dalam kehidupan ini. Kita menghidupi kebaikan bukan untuk mengharapkan
balasan kebaikan dari orang lain ataupun dari Tuhan, tetapi kita mau melakukan
kebaikan adalah karena kita sudah terlebih dahulu merasakan kebaikan Tuhan
dalam hidup kita. Pengakuan kita akan limpahan kebaikan Tuhan dalam hidup kita
sejatinya juga akan berbuahkan kebaikan yang akan dapat dirasakan orang lain.
Setiap
saat kita memiliki peluang yang tidak terbatas untuk menghidupi kebaikan, ada
banyak jalan dan cara yang dapat kita lakukan untuk menyatakan kebaikan bagi
orang lain. Bagaimana supaya kita selalu menjadi berkat bagi orang lain,
menjadi sumber kebaikan, sukacita kepada orang lain. Jangan kita membatasi
kebaikan itu berbuah dalam hidup kita, sebab Tuhan juga tidak membatasi berkat
dan kebaikanNya dalam hidup kita.
Kebaikan
dalam diri kita adalah buah Roh Kudus yang bekerja dalam diri kita, orang yang
melakukan kebaikan karena ada maunya, dibalik kebaikannya ada maksud dan tujuan
lain, itu adalah kebaikan yang palsu, manusia mungkin saja bisa kita dustai,
tetapi kita tidak bisa mendustai Tuhan. Ketulusan kita melakukan kebaikan akan
tercipta ketika kita melakukan kebaikan itu bukan untuk manusia tetapi untuk
Tuhan.
Kebaikan
itu juga hendaknya berbuah dengan tidak memandang orang. Siapapun orangnya,
bahkan orang yang memusuhi kita sekalipun, biarkan kebaikan itu menghasilkan
buahnya. Sebab demikian juga Allah berbuat baik kepada kita, Mazmur 145: 9
dikatakan “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala
yang dijadikan-Nya.” Kita berbuat baik kepada saudara, sahabat,
tetangga atau orang-orang yang kita kenal itu mungkin sudah biasa yang sudah
menjadi bahagian dari kehidupan sosial kita sehari-hari. Namun kebaikan yang
diharapkan buahnya dari kita jauh lebih dari situ, di Matius 25:40 Tuhan Yesus
berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan
untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya
untuk Aku” – “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus,
kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;
ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat
Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” (Matius 25: 35-36)
Maka, langkah-langkah apa yang dapat kita lakukan untuk mengembangkan kebaikan dalam diri kita? Mari kita jauhkan diri dari keegoisan yang hanya mementingkan diri sendiri, mari kita melatih diri untuk peka akan kebutuhan orang lain. Kita mau menjadi berkat bagi orang lain, melalui perkataan, tindakan dan perbuatan kita. Jangan tunggu orang lain berbuat baik kepada kita, selalu ambil langkah pertama untuk melakukan kebaikan bagi orang lain.
No comments :
Post a Comment