Adalah suatu kebahagiaan tersendiri jika ada suatu benda yang sudah lama hilang dan akhirnya kita temukan kembali. Terlebih lagi jika ada keluarga atau saudara kita yang hilang beberapa lama, terlebih lagi jika ada dari keluarga kita itu hilang karena perbuatan dosanya namun ia kembali lagi dengan pertobatan menyesali perbuatannya yang salah adalah sungguh merupakan sukacita tersendiri yang tidak ternilai dalam kehidupan kita. Ilustrasi seperti itulah yang ingin ditegaskan oleh Tuhan Yesus ketika Ia mengilustrasikan mengenai domba, dirham dan anak yang hilang. Tuhan Yesus ingin memperlihatkan bahwa betapa bersukacitanya Allah ketika manusia itu berbalik dari dosa-dosanya.
Hal ini disampaikan oleh Tuhan Yesus ketika orang-orang
Farisi dan ahli Taurat bersungut-sungut: “Ia menerima orang-orang berdosa dan
makan bersama-sama dengan mereka” (15:1). Dalam perumpamaan Tuhan Yesus
tentang anak yang hilang ingin menjelaskan hakikat daripada dosa itu sendiri dan ingin memperlihatkan kepada orang Farisi bahwa Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa dalam hidup manusia walaupun sering duduk bersama dengan orang-orang berdosa. Dari perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa dosa akan membuat manusia itu sengsara dan Allah dengan penuh kasih akan menerima orang berdosa itu kembali.
tentang anak yang hilang ingin menjelaskan hakikat daripada dosa itu sendiri dan ingin memperlihatkan kepada orang Farisi bahwa Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa dalam hidup manusia walaupun sering duduk bersama dengan orang-orang berdosa. Dari perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa dosa akan membuat manusia itu sengsara dan Allah dengan penuh kasih akan menerima orang berdosa itu kembali.
Dalam perumpamaan anak yang hilang ada tiga tokoh yag
menonjol, yaitu: Anak Sulung, Bapa dan Anak Bungsu. Jika kita menghubungkan
cerita ini dengan konteks ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini, maka Anak
sulung adalah gambaran dari orang Farisi dan ahli taurat; Bapa gambaran dari
Allah; Anak Bungsu adalah orang-orang yang berdosa. Sungut-sungut orang farisi
dan pemungut cukai itu adalah bentuk kemarahan anak sulung karena ketidak
senangannya atas tindakan bapanya yang menerima si bungsu kembali.
Mari kita lihat beberapa refleksi dari perumpamaan ini.
Mari kita lihat beberapa refleksi dari perumpamaan ini.
1. Allah sungguh mengasihi segala yang
telah diciptakanNya.
Kita
ingin di hantarkan pada suatu pengertian bahwa Allah adalah kasih. Tuhan tidak
menginginkan segala yang diciptakanNya itu hilang. Allah akan senantiasa
menanti kembalinya kita kepadaNya. Sejauh mana kita pergi meninggalkan Tuhan,
namun Ia akan senantiasa menantikan kepulangan kita, itulah kasih setia Tuhan.
2. Dampak dari perbuatan dosa
Setelah
kepergian anak bungsu membawa bahagian harta yang menjadi haknya dan dari kisah
perjalanan kehidupanNya mencerminkan kehidupan manusia yang jatuh kedalam dosa
sungguh amat mengerikan. Bagi orang yang berpikiran pendek memang sungguh enak
hidup dalam dosa dan pada akhirnya dosa itu sendiri akan membinasakan kita
secara berlahan-lahan. Godaan dosa itu memang menggiurkan namun pada hakikatnya
adalah mematikan.
3. Pintu pertobatan terbuka lebar
Sejauh
manapun kita jatuh kedalam dosa, namun Allah tetap menerima kita kembali.
Perubahan hidup dari anak bungsu itu adalah ketika “ia menyadari keadaannya”
(ayat 17). Dia masih mengenal bapanya yang begitu baik dan penuh kasih, ia
yakin bahwa bapanya akan menerima ia kembali serendah-rendahnya menjadi seorang
upahan bapanya, karena juga mengetahui bahwa pekerja upahan bapanya saja tidak
diperlakukan seperti yang dia rasakan. Kesadaran itulah yang membawa ia
mendapatkan hidup yang baru. Maka sadarlah selama Allah berkenan menantikan
engkau.
4. Menyadari posisi hidup
Ada dua
gambaran hidup yang diperlihatkan oleh perumpamaan ini yaitu pribadi anak
bungsu dan anak sulung. Kedua anak itu mau jauh ataupun dekat dengan bapanya,
namun yang pasti keduanya sama-sama tetap rentan untuk jatuh ke dalam dosa. Sehingga
yang menjadi kuncinya adalah kita “menyadari
kasih Allah”. Walaupun kita dekat dengan Allah, namun jika kita tidak
menyadari kasih Allah maka kedekatan kita itu akan sia-sia. Sebab sikap orang
yang telah dekat dengan Allah adalah semakin serupa dengan Allah yaitu
mengasihi. Sementara yang jauh dari Allah, pintu masih terbuka lebar untuk
kembaliNya kita kepadaNya. Sejauh manapun kita lari dari Tuhan, pada akhirnya
kita akan dipanggil kehadapanNya untuk mendapatkan penghakiman.
Adalah suatu kebahagiaan tersendiri jika ada suatu benda yang sudah lama hilang dan akhirnya kita temukan kembali. Terlebih lagi jika ada keluarga atau saudara kita yang hilang beberapa lama, terlebih lagi jika ada dari keluarga kita itu hilang karena perbuatan dosanya namun ia kembali lagi dengan pertobatan menyesali perbuatannya yang salah adalah sungguh merupakan sukacita tersendiri yang tidak ternilai dalam kehidupan kita. Ilustrasi seperti itulah yang ingin ditegaskan oleh Tuhan Yesus ketika Ia mengilustrasikan mengenai domba, dirham dan anak yang hilang. Tuhan Yesus ingin memperlihatkan bahwa betapa bersukacitanya Allah ketika manusia itu berbalik dari dosa-dosanya.
Hal ini disampaikan oleh Tuhan Yesus ketika orang-orang
Farisi dan ahli Taurat bersungut-sungut: “Ia menerima orang-orang berdosa dan
makan bersama-sama dengan mereka” (15:1). Dalam perumpamaan Tuhan Yesus
tentang anak yang hilang ingin menjelaskan hakikat daripada dosa itu sendiri dan ingin memperlihatkan kepada orang Farisi bahwa Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa dalam hidup manusia walaupun sering duduk bersama dengan orang-orang berdosa. Dari perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa dosa akan membuat manusia itu sengsara dan Allah dengan penuh kasih akan menerima orang berdosa itu kembali.
tentang anak yang hilang ingin menjelaskan hakikat daripada dosa itu sendiri dan ingin memperlihatkan kepada orang Farisi bahwa Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa dalam hidup manusia walaupun sering duduk bersama dengan orang-orang berdosa. Dari perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa dosa akan membuat manusia itu sengsara dan Allah dengan penuh kasih akan menerima orang berdosa itu kembali.
Dalam perumpamaan anak yang hilang ada tiga tokoh yag
menonjol, yaitu: Anak Sulung, Bapa dan Anak Bungsu. Jika kita menghubungkan
cerita ini dengan konteks ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini, maka Anak
sulung adalah gambaran dari orang Farisi dan ahli taurat; Bapa gambaran dari
Allah; Anak Bungsu adalah orang-orang yang berdosa. Sungut-sungut orang farisi
dan pemungut cukai itu adalah bentuk kemarahan anak sulung karena ketidak
senangannya atas tindakan bapanya yang menerima si bungsu kembali.
Mari kita lihat beberapa refleksi dari perumpamaan ini.
Mari kita lihat beberapa refleksi dari perumpamaan ini.
1. Allah sungguh mengasihi segala yang
telah diciptakanNya.
Kita
ingin di hantarkan pada suatu pengertian bahwa Allah adalah kasih. Tuhan tidak
menginginkan segala yang diciptakanNya itu hilang. Allah akan senantiasa
menanti kembalinya kita kepadaNya. Sejauh mana kita pergi meninggalkan Tuhan,
namun Ia akan senantiasa menantikan kepulangan kita, itulah kasih setia Tuhan.
2. Dampak dari perbuatan dosa
Setelah
kepergian anak bungsu membawa bahagian harta yang menjadi haknya dan dari kisah
perjalanan kehidupanNya mencerminkan kehidupan manusia yang jatuh kedalam dosa
sungguh amat mengerikan. Bagi orang yang berpikiran pendek memang sungguh enak
hidup dalam dosa dan pada akhirnya dosa itu sendiri akan membinasakan kita
secara berlahan-lahan. Godaan dosa itu memang menggiurkan namun pada hakikatnya
adalah mematikan.
3. Pintu pertobatan terbuka lebar
Sejauh
manapun kita jatuh kedalam dosa, namun Allah tetap menerima kita kembali.
Perubahan hidup dari anak bungsu itu adalah ketika “ia menyadari keadaannya”
(ayat 17). Dia masih mengenal bapanya yang begitu baik dan penuh kasih, ia
yakin bahwa bapanya akan menerima ia kembali serendah-rendahnya menjadi seorang
upahan bapanya, karena juga mengetahui bahwa pekerja upahan bapanya saja tidak
diperlakukan seperti yang dia rasakan. Kesadaran itulah yang membawa ia
mendapatkan hidup yang baru. Maka sadarlah selama Allah berkenan menantikan
engkau.
4. Menyadari posisi hidup
Ada dua
gambaran hidup yang diperlihatkan oleh perumpamaan ini yaitu pribadi anak
bungsu dan anak sulung. Kedua anak itu mau jauh ataupun dekat dengan bapanya,
namun yang pasti keduanya sama-sama tetap rentan untuk jatuh ke dalam dosa. Sehingga
yang menjadi kuncinya adalah kita “menyadari
kasih Allah”. Walaupun kita dekat dengan Allah, namun jika kita tidak
menyadari kasih Allah maka kedekatan kita itu akan sia-sia. Sebab sikap orang
yang telah dekat dengan Allah adalah semakin serupa dengan Allah yaitu
mengasihi. Sementara yang jauh dari Allah, pintu masih terbuka lebar untuk
kembaliNya kita kepadaNya. Sejauh manapun kita lari dari Tuhan, pada akhirnya
kita akan dipanggil kehadapanNya untuk mendapatkan penghakiman.
No comments :
Post a Comment