Bacaan Firman Tuhan: Lukas 10:25-37; Imamat 19: 9-18
Jika
kita merenungkan dan semakin mendalami pertanyaan dari ahli Taurat kepada Yesus
“Siapakah sesamaku manusia?”. Seandainya pertanyaan itu ditujukan kepada kita
kira-kira apa yang akan kita jawab. Mungkin Tuhan Yesus menjawab pertanyaan itu
dengan sebuah perumpamaan adalah supaya jawaban Yesus tidak kasar kepada ahli
Taurat itu. Dapat kita bayangkan jika seorang “manusia” bertanya “Siapakah
sesamaku manusia?” seorang manusia tidak lagi dapat mengenal sesamanya manusia.
Apakah dia telah menganggap orang lain “binatang” ataupun benda mati? Ataukah
saat ini orang hanya mengenal sesamanya manusia hanya yang satu golongan, ras,
agama, bangsa ataupun yang hanya satu ide dengan dia baru dapat dikatakan
sesamanya manusia.
Pertanyaan
“Siapakah sesamaku manusia” sesungguhnya adalah tanda dari dosa yang telah
menggerogoti kehidupan kita saat ini, sehingga dia tidak lagi mampu untuk
mengenal sesamanya manusia konsep gambar dan rupa Allah itu tidak lagi mampu di
lihat pada sesamanya. Sehingga bagaimana mungkin saya mampu mengasihi sesamaku
manusia sementara saya tidak mampu untuk mengetahui siapa sesamaku manusia.
Sehingga tidak heran jika ada manusia yang lebih mengasihi “Binatang”
peliharaannya dari pada sesamanya manusia dan orang-orang saat ini tidak
sungkan-sungkan lagi untuk menghabisi nyawa orang lain dan memperlakukan orang
lain seperti “Binatang” (Mungkin kita masih ingat beberapa waktu yang lalu bagaimana
terbongkarnya kasus pabrik periuk yang memperlakukan karyawannya dengan tidak
manusiawi).
Dosa
telah membutakan mata hati kita untuk dapat melihat siapa sesama kita manusia.
Yesus telah hadir ditengah-tengah kehidupan kita untuk membersihkan mata hati
kita untuk mampu melihat siapa sesama kita. Ketika kita telah menerima kasih
dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus yang memampukan kita melihat dan
mengenal siapa sesama kita, maka sudut pandang kita adalah supaya saling
mengasihi sesama manusia.
Perumpamaan
Tuhan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati ingin memperlihatkan bahwa
kasih yang terpancar dari hati manusia itu pada dasarnya tidak memandang
latarbelakang ataupun status. Walaupun orang Samaria itu tidak mengenal status
dari orang yang terkena rampok itu, namun dia mengenal bahwa dia adalah sesamanya
yang membutuhkan pertolongan dan bukan demikian halnya dengan Imam dan orang
Lewi yang tidak memancarkan rasa belas kasihan yang walaupun mereka memiliki
latarbelakang agama yang baik. Menjadi sesama manusia kita tidak memandang
status dan kondisi keadaan tetapi kita memiliki hati dan tindakan yang berbelas
kasihan kepada orang lain.
Belas
kasih tidak akan pernah bisa tersalur dengan baik kepada semua orang ketika
dosa menyelimuti diri kita. Sehingga belas kasih hanya dapat diterapkan pada
batas-batas tertentu saja. Alangkah sulitnya kasih itu tersalur ketika kebencian,
dendam dan sakit hati menyelimuti diri kita. Belas kasih menjadi hal sulit
dilakukan dengan ketulusan ketika pandangan diri kita kepada orang lain masih
dibatasi oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Belas kash akan terasa sulit jika
diri kita masih diselimuti oleh rasa takut untuk melakukan kasih.
Kasih
Allah melalui Yesus Kristus adalah untuk semua orang maka kehadiran kita
sebagai pengikut Kristus juga adalah untuk semua orang. Maka kita tidak memakai
cara pandang dunia untuk melakukan belas kasih melainkan cara pandang iman
dalam Yesus Kristus. Jika kita memiliki iman yang teguh di dalam Kristus, maka
belas kasih bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, malah sebaliknya belas
kasih menjadi kekuatan kita. Semampu kita belas kasih akan terpancar kepada
orang lain ketika kita benar-benar menyadari hidupku oleh hanya karena belas
kasih Allah.
Bacaan Firman Tuhan: Lukas 10:25-37; Imamat 19: 9-18
Jika
kita merenungkan dan semakin mendalami pertanyaan dari ahli Taurat kepada Yesus
“Siapakah sesamaku manusia?”. Seandainya pertanyaan itu ditujukan kepada kita
kira-kira apa yang akan kita jawab. Mungkin Tuhan Yesus menjawab pertanyaan itu
dengan sebuah perumpamaan adalah supaya jawaban Yesus tidak kasar kepada ahli
Taurat itu. Dapat kita bayangkan jika seorang “manusia” bertanya “Siapakah
sesamaku manusia?” seorang manusia tidak lagi dapat mengenal sesamanya manusia.
Apakah dia telah menganggap orang lain “binatang” ataupun benda mati? Ataukah
saat ini orang hanya mengenal sesamanya manusia hanya yang satu golongan, ras,
agama, bangsa ataupun yang hanya satu ide dengan dia baru dapat dikatakan
sesamanya manusia.
Pertanyaan
“Siapakah sesamaku manusia” sesungguhnya adalah tanda dari dosa yang telah
menggerogoti kehidupan kita saat ini, sehingga dia tidak lagi mampu untuk
mengenal sesamanya manusia konsep gambar dan rupa Allah itu tidak lagi mampu di
lihat pada sesamanya. Sehingga bagaimana mungkin saya mampu mengasihi sesamaku
manusia sementara saya tidak mampu untuk mengetahui siapa sesamaku manusia.
Sehingga tidak heran jika ada manusia yang lebih mengasihi “Binatang”
peliharaannya dari pada sesamanya manusia dan orang-orang saat ini tidak
sungkan-sungkan lagi untuk menghabisi nyawa orang lain dan memperlakukan orang
lain seperti “Binatang” (Mungkin kita masih ingat beberapa waktu yang lalu bagaimana
terbongkarnya kasus pabrik periuk yang memperlakukan karyawannya dengan tidak
manusiawi).
Dosa
telah membutakan mata hati kita untuk dapat melihat siapa sesama kita manusia.
Yesus telah hadir ditengah-tengah kehidupan kita untuk membersihkan mata hati
kita untuk mampu melihat siapa sesama kita. Ketika kita telah menerima kasih
dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus yang memampukan kita melihat dan
mengenal siapa sesama kita, maka sudut pandang kita adalah supaya saling
mengasihi sesama manusia.
Perumpamaan
Tuhan Yesus mengenai orang Samaria yang baik hati ingin memperlihatkan bahwa
kasih yang terpancar dari hati manusia itu pada dasarnya tidak memandang
latarbelakang ataupun status. Walaupun orang Samaria itu tidak mengenal status
dari orang yang terkena rampok itu, namun dia mengenal bahwa dia adalah sesamanya
yang membutuhkan pertolongan dan bukan demikian halnya dengan Imam dan orang
Lewi yang tidak memancarkan rasa belas kasihan yang walaupun mereka memiliki
latarbelakang agama yang baik. Menjadi sesama manusia kita tidak memandang
status dan kondisi keadaan tetapi kita memiliki hati dan tindakan yang berbelas
kasihan kepada orang lain.
Belas
kasih tidak akan pernah bisa tersalur dengan baik kepada semua orang ketika
dosa menyelimuti diri kita. Sehingga belas kasih hanya dapat diterapkan pada
batas-batas tertentu saja. Alangkah sulitnya kasih itu tersalur ketika kebencian,
dendam dan sakit hati menyelimuti diri kita. Belas kasih menjadi hal sulit
dilakukan dengan ketulusan ketika pandangan diri kita kepada orang lain masih
dibatasi oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Belas kash akan terasa sulit jika
diri kita masih diselimuti oleh rasa takut untuk melakukan kasih.
Kasih
Allah melalui Yesus Kristus adalah untuk semua orang maka kehadiran kita
sebagai pengikut Kristus juga adalah untuk semua orang. Maka kita tidak memakai
cara pandang dunia untuk melakukan belas kasih melainkan cara pandang iman
dalam Yesus Kristus. Jika kita memiliki iman yang teguh di dalam Kristus, maka
belas kasih bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan, malah sebaliknya belas
kasih menjadi kekuatan kita. Semampu kita belas kasih akan terpancar kepada
orang lain ketika kita benar-benar menyadari hidupku oleh hanya karena belas
kasih Allah.
No comments :
Post a Comment