Laman

Saturday, September 6, 2014

Roma 14:1-12 | Membuka Diri Untuk Saling Menerima

Ada persoalan nyata terjadi pada jemaat di Roma antara jemaat yang dikatakan disini “lemah imannya” yang hanya memakan sayur-sayuran dan menganggap hari yang satu lebih penting dari hari yang lain dengan jemaat yang memakan segala jenis makanan dan menganggap semua hari sama saja (ay. 2,6).

Kondisi ini terjadi karena memang jemaat di Roma ada orang Yahudi dan yang Non-Yahudi. Ada dari kalangan Yahudi yang percaya kepada Yesus, namun dalam pola kehidupan mereka sudah sangat melekat hukum Taurat yang tidak begitu saja meninggalkannya. Namun yang pasti bahwa persoalan yang terjadi bukanlah mengenai prinsip dasar iman Kristen bahwa keselamatan satu-satunya hanya melalui Yesus Kristus, tetapi lebih kepada masalah pemahaman praktis. Jika Paulus mengatakan yang “lemah imannya” lebih menitikberatkan pada kehidupan orang yang belum sepenuhnya mampu memahami pembenaran karena iman (Rm.10:4), sehingga mereka terusik ketika ada saudaranya dari Non-Yahudi melakukan apa yang tidak mereka lakukan

Maka persoalan yang terjadi:
Yang makan segala jenis makanan menghina yang tidak makan
Yang tidak makan menghakimi yang makan segala jenis makanan

Maka Paulus memberikan reaksi atas persoalan ini untuk tidak saling menghina dan menghakimi, karena pada dasarnya mau makan sesuatu ataupun tidak kita melakukannya adalah untuk Tuhan. Pada ayat-ayat selanjutnya juga (ay. 15-23) Paulus dengan tegas menyatakan supaya jangan seorang menjadi batu sandungan bagi saudaranya, sebab Kerajaan Sorga bukanlah masalah makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Sehingga celakalah orang yang karena makanannya orang lain tersandung.

Dalam konteks kita di Indonesia bukan hendak menyatakan bahwa ada yang “imannya lemah” dan ada “imannya kuat” sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasul Paulus. Namun tidak dapat kita pungkiri perjumpaan kita sesama Kristen yang berbeda denominasi dan juga perjumpaan iman Kristen dengan kekayaan adat dan budaya dapat memicu hilangnya semangat kesatuan jemaat Kristen. Nasehat Paulus ini dapat menjadi renungan bagi kita bersama untuk tetap menjaga kesatuan orang Kristen di Indonesia untuk tidak saling menghina dan menghakimi ditengah-tengah perbedaan.

Kata kunci yang perlu kita perhatikan bahwa bagaimana pun cara yang kita lakukan kita melakukannya untuk Tuhan. Terlebih jika iman Kristen bersinggungan dengan budaya dan adat, kita memang mesti berhati-hati untuk tidak terjun kepada sikap dualisme. Kita tidak menolak adat dan budaya bahkan harus dikembangkan, namun kita harus benar-benar bertanya apakah memang adat yang dilakukan memang benar-benar untuk memuliakan Tuhan, atau justru sebaliknya ada alasan dan tujuan tertentu dibaliknya.

Sikap menghina dan menghakimi menjadi bahaya dalam kehidupan berjemaat yang harus dihindari. Karena hal tersebut dapat merusak keutuhan jemaat. Seorang motivator Mike George mengatakan: “Ketika menghakimi dan menghina, kita berhenti untuk mencoba memahami orang lain, dan hubungan pun secara efektif terlumpuhkan”. Bahwa ketika kita menciptakan label yang negatif kepada seseorang kita sedang menciptakan penghalang dalam hubungan kita.

Ketika kita berhadapan dengan perbedaan baik sikap maupun pendapat, bagaimana kita untuk menyikapi dengan arif dan bijaksana. Tuhan tidak menjadikan kita hakim bagi sesama kita justru kita menjadi “penjaga” sesama kita sebagaimana khotbah minggu yang lalu (Yehezkiel 33: 7-11). Jika terjadi perselisihan bagaimana kita menjauhkan sikap anti, benci apalagi dendam terhadap sesama kita.

Sebagaimana yang Paulus sampaikan juga pada ayat-ayat sebelumnya (Roma 13:8-14) untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, bahwa dengan mengasihi sesamanya manusia sudah memenuhi hukum taurat. Sikap menghakimi dan menghina bukanlah sikap yang dilandasi sikap mengasihi sesama. Kasih itu bukan untuk menghakimi dan menghina tetapi adalah untuk menerima terlepas dia memiliki perbedaan sikap dan pendapat dari kita (14:1; 15:7).

Paulus menjelaskan, bagaimana karya keselamatan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya adalah wujud penerimaan Tuhan akan terhadap manusia yang berdosa. Tuhan tidak memandang kehinaan manusia itu, Dia mau menerima kita untuk memasuki kehidupan yang kudus. Hal ini ditegaskan supaya setiap orang percaya juga dapat saling menerima satu dengan yang lain yang walaupun dalam ukuran manusia tidak dapat diterima.

Penerimaan yang tulus bukan hanya sekedar menerima seseorang karena memang layak diterima, namun penerimaan itu lebih jauh lagi tidak sekedar “say hello” “horas” atau apapun itu yang hanya pada ucapan saja. Namun penerimaan yang tulus itu tanpa mempersoalkan apapun pandangan dan sikapnya namun kita tetap terbuka untuk mengasihinya sebagai saudara.

Kita tidak di tuntut untuk berubah langsung secara radikal, namun bagaimana kita mulai mau membuka diri untuk menerima kasih Allah bekerja dalam kehidupan kita.  
Kasih adalah penyembuh dalam hubungan yang kurang baik dan kasih akan memperbaiki perbuatan dan sikap yang kurang baik. 
Ketika kita saling mengasihi maka kita akan saling memperbaiki diri satu dengan yang lain. Yang dituntut untuk kita lakukan hanyalah mulai membuka diri untuk mengasihi dan menerima kasih orang lain. Sehingga persekutuan jemaat tetap terjalin dengan baik tanpa menghina dan menghakimi, tetapi untuk saling memahami, memaafkan dan saling memperbaiki diri.

No comments:

Post a Comment